Hubungan karya sastra dengan manusia
Penyusun :
Nama : raka muhammad ilham f
NPM : 15315606
Fakultas : Teknik Sipil dan Perencanaan
JURUSAN
TEKNIK SIPIL
UNIVERSITAS
GUNADARMA
2016
Hubungan karya sastra dengan manusia
Karya sastra adalah
suatu wadah untuk mengungkapkan gagasan, ide dan pikiran dengan
gambaran-gambaran pengalaman. Sastra menyuguhkan pengalaman batin yang dialami
pengarang kepada penikmat karya sastra (masyarakat). Sastra bukan hanya
refleksi sosial melainkan merespresentase sebuah gagasan tentang dunia yang
atau gagasan atas realitas sosiologis yang melampaui waktunya. Karya
sastra yang baik adalah sebuah karya yang dapat memberikan kontribusi bagi
masyarakat. Hubungan sastra dengan masyarakat pendukung nilai-nilai kebudayaan
tidak dapat dipisahkan, karena sastra menyajikan kehidupan dan sebagian besar
terdiri atas kenyataan sosial (masyarakat), walaupun karya sastra meniru
alam dan dunia subjektif manusia (Wellek dan Warren, 1990:109). Di samping itu
sastra berfungsi sebagai kontrol sosial yang berisi ungkapan sosial
beserta problematika kehidupan masyarakat. Hal ini diungkapkan oleh Jobrahim,
ed, (1994: 221) bahwa sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu
sendiri adalah suatu kenyataan sosial.
Secara
historis, dalam kaitannya dengan masyarakat yang menghasilkannya, karya sastra
dibedakan menjadi dua macam, yaitu sastra lama (klasik) dan sastra baru
(modern). Sastra lama juga disebut sastra daerah (regional),
menggunakan bahasa (bahasa) daerah, terbesar diseluruh Nusantara. Sebaliknya,
sastra modern juga disebut sastra Indonesia (nasional), menggunakan bahasa
Indonesia, penyebarannya pada umumnya terbesar pada kota-kota (besar). Sebagai
objek kajian, kedudukan sastra lama dan sastra modern sama, relevansinya
tergantung dari sudut pandang dan kepentingan suatu penelitian.
Secara teknis sastra lama ada dua macam, yaitu sastra lisan (oral) dan
sastra tulis. Melihat kondisi-kondisi geografis ekologis, dan keragaman
bentuknya, sastra lisan merupakan khazanah kebudayaan yang paling kaya. Melihat
penyebaranya yang sangat luas, khazana kultural ini tidak pernah terdeteksi
secara pasti. Yang pasti adalah bahwa tradisi tersebut makin lama makin
berkurang dengan berkurangnya masyarakat pendukung sebagai akibat mobilitas dan
globalisasi. Tradisi tulis tidak berpengaruh terhadap keberadaan sastra lisan.
Artinya, meskupun suatu tradisi lisan telah ditranskripsikan ke dalam tulisan,
tradisi tersebut tetap hidup dengan mekanismenya masing-masing. Oleh karena
itu, masyarakat pendukungnyalah yang memilki pengaruh terbesar terhadap
perkembangan tradis lisan. Tradisi lisan adalah tradisi komunikasi langsung dan
dimungkinkan terjadinya interaksi antara pengirim dengan penerima. Esensi
tradisi oral adalah proses komunikasi tersebut, bukan proses tekno;ogisasinya.
Transkipsi, transliterasi, dan sebagainnya hanyalah gejala kedua, sama
dengan sinopsis sebuah novel, relevansinya tersebut untuk membantu memahami
objek yang sesungguhnya (Ratna, 2005).
Tradis tulis berkembang dengan pesat sejak ditemukannya mesin cetak abad ke-15
oleh Guttenberg. Satu abad kemudian, yaitu abad ke-16, hampir semua khazanah
kebudayaan Eropa Klasik sudah tersedia dalam bentuk cetakan teknologi ini
sampai di Indonesia pertengahan ke-18, diawali dengan penerbitan surat kabar
yang pertama oleh pemerintah kolonial Belanda. Industri percetakan bertambah
subur akhir abad ke-19 melalui para pedagang Tioghoa. Menurut Ratna (2005:
62-63) perkembangan ini didukung oleh pemilikan modal untuk membeli alat-alat
percetakan di satu pihak tradisi untuk memajukan pendidikan sebagai konservasi
nilai-nilai borjuis di pihak yang lain. Kemudian, awal abad ke-20 dunia percetakan
diambil alih oleh penerbitan Balai Pustaka. Sementara itu, sastar derah tetap
melanjudkan tradisinya masing-masing, seperti Sastra Bali dengan tulisan Bali,
sastra Jawa dengan tulisan Jawa, dan sebagainnya. Penemuan teknologi kemputer
menpersatukan kedua mekanisme, secara teknologis komputer dapat mentranskipskan
kelisana dalam bentuk apa pun, termasuk lambang-lambang menjadi tradisi
keberaksaraan.
Tugas sosiologis sastra, baik sebagai institusi formal maupun literer justru
menjadi lebih penting dalam kaitannya dengan nilai-nilainya sebagai aset
kebudayaan. Sastra klasik adalah warisan nenek moyang, pancaran masyarakat
lama, sekaligus merupakan gudang inforamasi bagi generasi berikutnya. Sesuai
dengan Undang-Undang Dasar 45, pasal 32, maka seluruh khazanah kultural yang
masih dipelihara oleh masyarakat yang bersangkutan wajib dilindungi oleh
negara, termasuk aparatur yang menyertai sesuai dengan fungsinya, maka
cara-cara yang dapat dilakukan oleh sosiologis sastra adalah melestarikan dengan
cara merekam, mengabadiakan , menganalisis, memahami dan menyebarluaskannya.
Tugas ini memang sangat berat sebab kekayaan terbatas. Masalah lain yang juga
belum teratasi adalah keterbatasan dana penelitian. Kendalah yang jauh
lebih serius adalah tradisi memposisikan karya sastra sebagai gelajah sekunder,
dengan konsekuensi bahwa berbagai masalah yang berkaitan dengan aspek-aspek
rohani hanya berfungsi sebagai pelengkap. Oleh karena itulah, banyak tradisi
lisan yang belum tersentuh, seperti wilayah pedalaman di Sumatra, Kalimantan
dan, Irian Barat dan sebagainya, sehinnga sangat rawan untuk menjadi
punah.
Perbedaan pendapat mengenai awal terjadinya sastra Indonesia modern timbul
sebagai akibat beberapa indikator yang terlibat, di antaranya, sebagai berikut:
1. Bahasa
sebagai kualitas linguistik dan sastra sebagai kulaitas estetis lahir pada
periode yang sama. Bahasa dan sastra Indonesia adalah pernyataan sikap bukan
hakikat.
2. Hubungan
bentuk sastra lama dan modern belum jelas, sementara pengaruh sastra lama masih
sangat kuat.
3. Pada
saat lahirnya sastra Indonesia modern, yaitu awal abad ke-20, terjadi
pergeseran sosial yang sangat kompleks termasuk intervensi pemerintah kolonial
dengan cara memanfaatkan sastra sebagai kekuatan politik.
4. sebagian
pendapat berasal dari sarjana Barat yang dengan sendirinya menggunakan tolok
ukur sastra Barat.
5. Usia
sastra Indonesia yang masih relatif singkat sehingga sangat sulit untuk
mengadakan pembabakan waktu.
Dalam
kaitannya dengan peranan masyarakat, masalah aktual paling banyak dibicarakan
mengenai sastra awal abad ke-20, terutama sepanjang tahun 1930-an adalah
nasionalisme. Menurut Kartodirdjo (1990; 120-130) terdapat beberapa indikator
yang menopang perkembangan ideologi tersebut, sebagai berikut :
1. Meratanya
perkembangan pendidikan, yang dengan sendirinya membangkitkan kesadaran
nasional.
2. Timbulnya
sikap radikal sebagai akibat penyimpangan pelaksanaan politik etis.
3. Pengaruh
situasi internasional seperti pecahnya Perang Dunia I (1914-1918).
Pesatnya
perkembangan sastra Indonesia modern, merupakan akibat langsung pemanfaatan
teknologi modern, yaitu percetakan, yang juga disebarluaskan melalui sistem
komunikasi modern. Hasil-hasil karya dapat digandakan secara massal dan dapat
dinikmati di seluruh pelosok tanah air dalam waktu yang relatif singkat. Sastra
modern menyajikan peristiwa aktual yang terjadi sehari-hari, cerita-cerita yang
sangat akrab dengan masyarakat kontemporer. Sesuai dengan situasi dan kondisi,
tingkat pengalaman dan pengetahuan masyarakat, maka cerita-cerita yang menarik
adalah cerita yang mengandung masalah-masalah yang berkaitan dengan
kemerdekaan, kemakmuran, percintaan, keberhasilan suatu perjuangan, dan
kemajuan-kemajuan perdaban manusia pada umumnya. Lokasi cerita adalah kota-kota
besar, tokoh-tokoh berasal dari kelas menengah ke atas.
Karya
sastra tetap menarik karena menyerupai kehidupan, tetapi jelas bukan kehidupan
itu sendiri. Dimensi-dimensi emosionalitas yang teralienasikan dapat disalurkan
melalui pembaca karya sastra. Penjajahan yang sangat lama, taraf kehidupan yang
sama sekali tidak memadai, seolah-olah telah melumpuhkan sebagian semangat
perjuangan. Membaca karya sastra berarti menumbuhkan harapan-harapan baru,
dengan cara mengidentifikasikan diri dengan kejadian-kejadian dalam karya
sastra. Karya sastra pada gilirannya menggali energi yang stagnasi, karya
sastra merupakan katharsis, revitalisasi bagi kekuatan yang
tersembunyi. Pada dasarnya sastra awal abad ke-20 bernilai dari segi
ekstraliterer, tetapi semangat itulah yang dapat disumbangkan bagi kemajuan
bangsa. Sutan Takdir Alisyahbana merupakan tokoh yang telah banyak memberikan
pertimbangan dalam hubungan ini. Pada tingkatan yang lebih luas, polemik
kebudayaan memberikan arah terhadap perkembangan budaya kontemporer, meskipun
sesungguhnya sampai sekarang belum terwujud secara nyata.
Berbeda
dengan karya sastra yang dapat diolongkan menjadi lama dan modern, masyarakat
selalu dibayangkan melalui masyarakat sekarang. Dalam analisis sastra lama,
misalnya, benar yang dibicarakan adalah masyarakat lama, masyarakat sebagai
katar belakang produksi karya, tetapi jelas dinilai dalam kaitannya dengan
masyarakat sekarang. Apabila masyarakat sastra lama semata-mata dinilai sebagai
masyarakat lama, maka penelitian menjadi bersifar sejarah, filologi,
antropologi, atau sosiologi itu sendiri. Kemungkinan lain analisis menjadi
semata-mata refleksi, karya sastra sebagai cermin yang pasif. Sebaliknya,
analisis sosiologi adalah analisis karya melalui kompetensi masyarakat, dengan
tujuan untuk menemukan estetika karya, bukan estetika masyarakat.
Masyarakat
sebagai masalah pokok sosiologi sastra dapat digolongkan ke dalam tiga macam,
sebagi berikut:
1. Masyarakat
yang merupakan latar belakang produksi karya.
2. Masyarakat
yang terkandung dalam karya.
3. Masyarakat
yang merupakan latar belakang pembaca.
Masyarakat
pertama dihuni oleh pengarang, keberadaannya tetap, tidak berubah sebab
merupakan proses sejarah. Masyarakat kedua dihuni oleh tokoh-tokoh rekaan,
sebagai manifestasi subjek pengarang. Oleh karena itu, keberadaannya memiliki
dua dimensi yang berbeda. Di satu pihak, sebagai bentuk fiisk, sebagai naskah
bersifat tetap, sedangkan di pihak lain sebagai kualitas psike, sebagai teks
berubah secara terus-menerus. Masyarakat yang terakhir dihuni oleh (para)
pembaca. Sebagai proses sejarah keberadaannya sama dengan masyarakat yang
pertama. Perbedaannya, masyarakat pembaca berubah sebagai akibat perubahan
pembaca itu sendiri, yang berganti-ganti sepanjang zaman (Ratna, 2005;
215-216).
Sebagai
masyarakat pengarang, masyarakat pertama terdiri atas fakta-fakta, dihuni oleh
individu sekaligus transindividu, peristiwa dan kejadian-kejadiannya dapat
diamati secara langsung. Pada umumnya, masyarakat yang terkandung dalam karya
sastralah yang paling banyak menarik perhatian. Secara teoritis masyarakat ini
merupakan masyarakat imajiner yang sesuai dengan hakikat karya sebagai rekaan.
Relevansinya adalah fungsi-fungsinya dalam menampilkan unsur-unsur karya
sastra, seperti tokoh-tokoh, tema, sudut pandang, dan sebagainya. Keseluruhan
model analisis, ekstrinsik dan intrinsik, otonomi dan sosiologi, strukturalisme
dan postrukturalisme, mesti melibatkan masyarakat imajiner sebagaiamana yang
terkandung dalam karya sastra (Junus, 1986).
Sesuai
dengan perkembangan teori sastra, masyarakat pembaca dianggap sebagai dimensi
karya yang mengandung makna paling kaya. Masyarakat pembacalah yang
memungkinkan para pembaca berhasil untuk memberikan pemahaman yang berbeda-beda
terhadap karya yang sama. Perbedaan yang dimaksudkan terdiri atas perbedaan
ruang dan waktu. Sebagai akibat perbedaan ruang, sebuah karya dapat ditafsirkan
secara bermacam-macam sesuai dengan latar belakang masing-masing pembaca.
Sebuah karya sastra pada gilirannya dapat mengevokasi keberagaman budaya dalam
ruang yang tak terbatas. Karya sastra adalah pelita, yang melaluinya dapat
ditunjuk berbagai-bagai bentuk kebudayaan lokal, sebagaiamana terkandung dalam
diri pembaca. Perbedaan waktu juga menampilkan perbedaan penafsiran. Baik dalam
teori maupun sejarah sastra, perbedaan waktu inilah yang dianggap lebih
bermakna sebab karya sastra akan tetap hidup sepanjang masa. Karya sastra yang
telah lahir ribuan tahun yang lalu, masih menampilkan makna yang berbeda-beda
sehingga tetap bermanfaat bagi masyarakat (Wahid, 2006).
Sebagai
dua diskresi, sastra dan masyarakat berkembang dengan irama yang juga relatif
sama, sastra melalui unsur tokoh-tokoh dan kejadian yang diintegrasikan oleh
makanisme pemplotan, masyarakat melalui unsur aksi dan interaksi, status dan
peranan yang diintegrasikan oleh mekanisme institusionalisasi. Plot jelas hanya
ada dalam karya sastra sebab kejadian dan tokoh-tokoh merupakan bahan kasar,
unsur-unsur yang siap pakai, dapat dibekukan dan dimanipulasi, dirangkai
sebagai seni waktu. Sebaliknya, dalam kehidupan sehari-hari kejadian mengalir
terus tanpa berhenti, karena itulah, tidak ada sorot balik, tidak ada teknik
cerita. Keduanya memanfaatkan medium bahasa, baik lisan maupun tulisan, sebagai
bahasa sastra dan bahasa sehari-hari.
Berbeda
dengan masyarakat pada umumnya, masyarakat sastra ditandai oleh adanya berbagai
kepentingan yang berkaitan dengan: 1) citra estetis, 2) ilmu pengetahuan, 3)
manfaat pragmatis, 4) nilai ekonomis, dan 5) nilai dokumentasi. Kepentingan
mengenai citra estetis meruapakan masalah utama sebab keindahan meruapakan
hakikat karya sastra, karya seni pada umumnya, yang pada gilirannya akan
merupakan umpan balik bagi perilaku sosial itu sendiri, dalam rangka menanamkan
nilai-nilai moral. Kepentingan dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan, dalam
hal ini secara khusus dikaitkan dengan kritik, esai, dan penelitian mengenai
karya sastra itu sendiri, pada gilirannya akan memicu kulaitas aktivitas
kreatif berikutnya, manfaat pragmatis dilakukan oleh pembaca biasa, pada
umumnya untuk mengisi waktu luang. Manfaat pragmatis juga dilakukan oleh para
penguasa untuk mempertahankan kedudukannya, kelompok tertentu, seperti Marxis
untuk menyampaikan ideologinya. Nilai ekonomi dilakukan oleh penerbit dan toko
buku yang secara keseluruhan berorientasi finansial. Berbeda dengan ilmu
pengetahuan, kepentingan sebagai dokumentasi meliputi pemakaian karya sastra
semata-mata sebagai gejala kedua, sebagai obyek penelitian disiplin yang lain.
Sesuai dengan hakikatnya, sastra harus mempertahankan kualitas otonomi, ciri-ciri
estetis yang diperoleh melalui regulasi diri, kemampuan dalam mengakumulasikan
dan mengeksploitasi seluruh unsurnya. Di pihak lain, sastra juga memiliki misi
dan tujuan-tujuan tertentu, sesuai dengan kecenderungan masyarakat yang
melatarbelakanginya. Terjadi tarik-menarik di atara keduanya, silang sengketa
antara hakikat dan manfaat, visi dan misi, kualitas emosional dan intelektual,
sastra sebagai proyeksi individu sekaligus transindividu.
Sastrawan menulis karya sastra, antara lain, untuk menyampaikan model kehidupan
yang diidealkan dan ditampilkan dalam cerita lewat para tokoh. Dengan karya
sastranya, sastrawan menawarkan pesan moral yang berhubungan dengan sifat-sifat
luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia. Sifat-sifat itu
pada hakikatnya universal, artinya diyakini oleh semua manusia. Pembaca
diharapkan dalam menghayati sifat-sifat ini dan kemudian menerapkannya dalam
kehidupan nyata (Teeuw, 2003: 321).
Untuk itu, seorang pengarang berusaha untuk memperlihatkan kemungkinan
tersebut, memperlihatkan masalah-masalah manusia yang subtil (halus) dan
bervariasi dalam karya-karya sastranya. Sedangkan daya imajinatif adalah
kemampuan pengarang untuk membayangkan, mengkhayalkan, dan menggambarkan
sesuatu atau peristiwa-peristiwa. Seorang pengarang yang memiliki daya
imajinatif yang tinggi bila dia mampu memperlihatkan dan menggambarkan
kemungkinan-kemungkinan kehidupan, masalah-masalah, dan pilihan-pilihan dari
alternatif yang mungkin dihadapi manusia. Kedua daya itu akan menentukan
berhasil tidaknya suatu karya sastra. Dalam kaitan dengan proses penciptaan
karya sastra, seorang pengarang berhadapan dengan suatu kenyataan yang ada
dalam masyarakat (realitas objektif). Realitas obyektif bisa berbentuk
peristiwa-peristiwa, norma-norma (tata nilai), pandangan hidup. Karya sastra
menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan diri
sendiri, lingkungan, dan juga Tuhan. Karya sastra berisi penghayatan sastrawan
terhadap lingkungannya. Karya sastra bukan hasil kerja lamunan belaka,
melainkan juga penghayatan sastrawan terhadap kehidupan yang dilakukan dengan
penuh kesadaran dan tanggungjawab sebagai sebuah karya seni (Hadi W.M, 2008:
3).
Karya
sastra memiliki peran yang penting dalam masyarakat karena karya sastra
merupakan ekspresi sastrawan berdasarkan pengamatannya terhadap kondisi
masyarakat sehingga karya sastra itu menggugah perasaan orang untuk berpikir
tentang kehidupan. Membaca karya sastra merupakan masukan bagi seseorang untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Para penguasa sering melarang peredaran
karya-karya sastra yang dianggap membahayakan pemerintahannya. Buku-buku
dimusnahkan dan sastrawan-sastrawan diasingkan. Pramoedya Ananta Toer pernah
diasingkan ke Pulau Buru. Karya Mochtar Lubis berjudul Senja di Jakarta juga
pernah dilarang beredar oleh Sukarno. Kekerasan ini terjadi karena sastrawan
lewat karyanya berusaha melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan
penguasa
Pemecahan persoalan sosial lewat karya sastra terkait dengan konvensi-konvensi
kesusastraan. Konvensi-konvensi itu selalu ada dalam aktivitas kesusastraan
karena konvensi-konvensi itu menentukan sejauh mana suatu obyek dapat dianggap
sebagai karya sastra pada umumnya atau sebagai karya yang baik atau yang buruk
pada khususnya. Sastrawan tidak dilarang untuk melakukan “pendobrakan” terhadap
konvensi-konvensi sastra karena masyarakat sastralah yang nanti akan menilai
apakah “pendobrakan” itu masih dalam batasan keindahan karya sastra atau tidak.
Sastrawan juga perlu memperhatikan konvensi-konvensi sastra yang berlaku
sebelumnya karena “pendobrakan” terhadap konvensi sastra akan terlihat maknanya
jika dipertentangkan dengan konvensi sebelumnya (Teeuw, 1988: 29).
Ada hubungan yang menarik ketika konvensi sastra itu dikaitkan dengan struktur
sosial. Menurut Faruk (1994: 44-47) kemungkinan hubungan tersebut ada empat,
yaitu hubungan kelembagaan, hubungan permodelan, hubungan interpretatif, dan
hubungan pembatasan. Hubungan yang pertama adalah hubungan kelembagaan yang
menganggap konvensi-konvensi tersebut sebagai sebuah lembaga sosial yang
diterima dan dipertahankan oleh masyarakat. Perubahan pada konvensi-konvensi
tersebut akan berakibat perubahan pada struktur sosial dan perubahan pada
struktur sosial akan berakibat perubahan pada konvensi-konvensi kesusastraan.
Pada dasarnya
masyarakatlah yang menghasilkan kebudayaan sebab yang pertama kali memanfaatkan
kompetensi manusia adalah masyarakat itu sendiri. Meskipun dernikian, dengan
adanya hasil-ha aktivitas manusia, maka kebudayaan itu pun menghasilkan
bentuk-bentuk masyarakat tertentu. Teknologi media massa menghasilkan
mesyarakat pemirsa yang berbeda-beda. Atas dasar penjelasan di atas, maka baik
karya sastra sebagai hasil aktivitas kebudayaan di satu pihak, maupun sebagai
hasil interaksi manusia dalam masyarakat di pihak yang lain, memiliki nilai
yang sama. Dengan kalimat lain, karya sastra, seperti juga karya seni yang
lain, dan dengan sendirinya keseluruhan basil ciptaan manusia, sekaligus
dihasilkan oleh masyarakat dan kebudayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar