GUNADARMA

ug

Senin, 21 Desember 2015

konflik etnis aceh dan jawa

“konflik etnis aceh dan jawa”
Description: Logo_Gundar.png

­Penyusun     :

Nama            : raka muhammad ilham f
NPM             : 15315606
Fakultas       : Teknik Sipil dan Perencanaan










JURUSAN TEKNIK SIPIL
UNIVERSITAS GUNADARMA
2015
Kata pengantar


Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, saya panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga sayadapat menyelesaikan makalahilmu sosial dasar dengan judul konflik etnis aceh dan jawa.

           Makalah ini telah saya susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu saya menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
    
Terlepas dari semua itu,saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka saya menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar saya dapat memperbaiki makalah ini.
    
    Akhir kata saya berharap semoga makalah ini sapat bermanfaat untuk masyarakat dan dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Tangerang , 21 desember 2015
Penulis












DAFTAR ISI



Kata Pengantar ...............................................................................................  i
Daftar isi........................................................................................................... ii
Bab 1 PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah.........................................................................  1
Rumusan masalah...................... ............................................................ 2
Tujuan Penulisan.......................... .........................................................  2

Bab 2 PEMBAHASAN
2.1 Kesalahpahaman antara masyarakat aceh dengan jawa ........................................................................................................... 3
2.2 latar belakang konflik menjadi besar.................................................................................................. 4
2.3 upaya pemerintah melakukan damai
............................................................................................................ 5



Bab 3 PENUTUP
4.1 Kesimpulan..................................................................................11 
4.2 Saran............................................................................................ 12











BAB I
PENDAHULUAN
1.1       Latar Belakang
           Setelah Soeharto berkuasa ternyata ia membuat kebijakan yang sangat sentralistik. Daerah istimewa yang dijnjikan dulu tidak pernah ditepati dan bahakan dilupakan. Kekecewaan rakyat Aceh terhadap orang jawa diperkuat oleh penemuan sumber cadanagan minyak dan gas alam terbesar pada tahun 1971 di Lhokseumawe. Empat tahun kemudian Mobil Oil Indonesia perusahaan raksasa yang bermarkas di Amerika serikat diberikan hak untuk mengeksploitasinya. Sehingga kemudian disusul oleh beridirinya perusahaan-perusahaan industri besar seperti PT. PIM, PT AAF, PT KKA dan sejumlah industri hilir lainnya. Meskipun Aceh telah ditetapkan sebagai kawasan ZIL (zona industri Lhoseumawe) namun keuntungan tidak pernah dirasakan oleh rakyat Aceh. Aceh tetap miskin dan masyarakatya tetap hidup dalam kemelaratan. Seluruh keuntungan mengalir ke pusat. Ekspansi besar-besaran tenaga kerja asing terjadi. Sebagian besar birokrat serta posisi-posisi penting didalam pemerintahan di Aceh dikuasai dan didominasi oleh orang Jawa maka semakin menumbuhkan kebencian orang-orang Aceh terhadap orang jawa.



1.2       Rumusan masalah

          Berdasarkan masalah yang sudah dipaparkan diatas, maka dapat ditentukan beberapa rumusan masalah, antara lain adalah:

Apa yang membuat aceh diabaikan oleh pemerintah?
Mengapa konflik ini menjadi konflik yang panjang?
Bagaimana tindakan pemerintah pada saat terjadi konflik di aceh?










1.3    Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan makalah ini diantaranya:

Menjelaskan kesalahpahaman antara etnis aceh dengan etnis jawa (pemerintah)
Menjelaskan kenapa konflik ini menjadi konflik yang besar
Menjelaskan upaya pemerintah dalam mengatasi konflik

































BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kesalahpahaman antara masyarakat aceh dengan jawa
pemerintah penguasa Orde baru sedang giat-giatnya merealisasikan program pembangunan serta penyebaran Transmigrasi terutama yang berasal dari pulau jawa yang kemudian ditempatkan didaerah-daerah. Tak sedikit Transmigaran yang berasal dari pulau jawa membangun pemukiman-pemukiman baru di Aceh. Hal ini semakin menambah kemarahan orang Aceh terhadap Jawa dan tak jarang selama kurun waktu tahun 80-90-an para Transmigran menjadi sasaran amarah masyarakat Aceh terutama sekali GAM. Para transmigran banyak yang mendapat perlakuan tidak manusiawai mulai dari penganiayaan, penculikan terhadap etnis Jawa pembakaran rumah hingga kehilangan nyawa. Hal ini yang kemudian membuat orang-orang Jawa transmigran merasa terancam hidupnya dan bahkan kebanyakan dari mereka memilih keluar dari Aceh.
Ketika itu orang Aceh sanagat membenci orang Jawa. Bagi orang Aceh, jawa adalah bangsa pengkhianat, meskipun sebenarnya yang patut dibenci adalah oknum pemerintah Indonesia, yang dominan di tempati oleh orang-orang yang ber etnis Jawa, namun para transmigran pula tak luput dari teror serta ancaman dan intimidasi. Karena orang  Aceh beranggapan, semua orang jawa adalah penipu, sehingga orang-orang Aceh terutama GAM, telah mempersepsikan atau memaknai negatif secara umum terhadap etnis Jawa.







2.2 latar belakang konflik menjadi besar

          penemuan sumber cadanagan minyak dan gas alam terbesar pada tahun 1971 di Lhokseumawe. Empat tahun kemudian Mobil Oil Indonesia perusahaan raksasa yang bermarkas di Amerika serikat diberikan hak untuk mengeksploitasinya. Sehingga kemudian disusul oleh beridirinya perusahaan-perusahaan industri besar seperti PT. PIM, PT AAF, PT KKA dan sejumlah industri hilir lainnya. Meskipun Aceh telah ditetapkan sebagai kawasan ZIL (zona industri Lhoseumawe) namun keuntungan tidak pernah dirasakan oleh rakyat Aceh. Aceh tetap miskin dan masyarakatya tetap hidup dalam kemelaratan. Seluruh keuntungan mengalir ke pusat. Ekspansi besar-besaran tenaga kerja asing terjadi. Sebagian besar birokrat serta posisi-posisi penting didalam pemerintahan di Aceh dikuasai dan didominasi oleh orang Jawa maka semakin menumbuhkan kebencian orang-orang Aceh terhadap orang jawa



2.3 upaya pemerintah melakukan damai

          Meskipun status DOM telah dicabut pada akhir Juli 1998 dan secara resmi diumumkan pencabutan DOM pada tanggal 7 Agustus 1998 oleh Jenderal Wiranto sebagai Menhankam/Panglima TM di depan sejumlah ulama di kota Lhokseumawe Aceh Utara, namun kondisi Aceh semakin hari semakin bertambah sulit. Pasukan Penindak Rusuh Massa (PPRM) yang dikirim pemerintah pusat pasca DOM telah ditarik kesatuannya masing-masing serta diadakannya penandatanganan kesepakatan Jeda Kemanusiaan di Jenewa tanggal 12 Mei sampai 15 Januari 2001 dan sejumlah solusi-solusi lain yang sedang diproses bahkan telah dilakukan juga belum memberi perubahan yang signifikan pada suhu konflik di Aceh.

Pasukan Penindak Rusuh Massa , Operasi Wibawa, Operasi Meunasah, dibawah komando Polri yang tidak disertai dengan tujuan yang pasti dan langkah-langkah yang konkret, menyebabkan dampak serius bagi masyarakat Aceh. Cara ini bukan mendekatkan rakyat kepada Indonesia, tetapi semakin menjauhkan mereka. Pada periode 1998-1999 PPRM dibawah komando kepolisian daerah POLDA digelar untuk menggantikan operasi-operasi keamanan sebelumnya. Setelah itu, Operasi Wibawa, Operasi Cinta Meunasah digelar oleh kepolisian, namun lagi-lagi hasilnya tidak dapat menuntaskan pemberontakan di Aceh.

            Masyarakat Aceh yang sebagian besar pada waktu itu menghendaki adanya referendum bagi Aceh seperti yang diberikan oleh Presiden B.J. Habibie dalam menyelesaikan kasus Timor Timur. Namun tuntutan ini tidak memperoleh tanggapan dari pemerintah. Ketika Presiden B.J. Habibie mengunjungi Aceh pada 26 Maret 1999, beliau membuat sembilan janji kepada rakyat Aceh. Atas kekerasan yang terjadi di Aceh, Presiden B.J. Habibie meminta maaf kepada seluruh rakyat Aceh. Ia juga memerintahkan agar aparat keamanan tidak melakukan tindak kekerasan dan pertumpahan darah. Selanjutnya Presiden di Masjid Baiturrahman Aceh memberikan janji kepada rakyat Aceh dengan perincian sebagai berikut : (Ahmad Farhan Hamid,Jalan Damai Nanggroe Endatu Catatan Seorang Wakil Rakyat Aceh, Suara Bebas, Jakarta, 2006 hal 21-22)

1.      Melanjutkan program pembebasan narapidana yang terlibat aksi politik 1989-1998.
2.      Meminta pemerintah daerah Aceh untuk membongkar kuburan massal korban DOM dan menguburkan kembali sesuai syariat Islam dengan segala biaya di tanggung pemerintah.
3.      Memberikan bantuan kesejahteraan dalam bentuk beasiswa bagi anak yatim, penyaluran kredit usaha, modal kerja atau bantuan lainnya kepada para janda, korban perkosaan, cacat dan bentuk rehabilitas ekonomi maupun rehabilitas sosial lainnya.
4.      Merehabilitas dan membangun kembali bangunan-banguan desa-desa bekas wilayah operasi keamanan, termasuk rehabilitas mental spritual bagi semua ekses operasi keamanan.
5.      Meningkatkan mutu pendidikan di Aceh, antara lain dengan meningkatkan status 85 madrasah swasta menjadi negeri, memberikan fasilitas yang memadai, mendirikan madrasah aliyah unggulan, memberikan lahan untuk praktik dan usaha Unsyiah, IAIN dan Pesantren.
6.      Menghidupkan kembali jaringan kereta api di Aceh.
7.      Mengembangkan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Sabang.
8.       Memperpanjang landasan pacu Bandara Iskandar Muda.
9.      Mengangkat 2.188 anak-anak korban DOM menjadi Pengawai Negeri Sipil tanpa testing.

            Wacana untuk pemberian syariat islam dan khususnya Aceh juga digagas pada masa era  pemerintahan B.J. Habibie. Gagasan ini dituangkan pada Undang-Undang N0 44 Tahun 1999 yang mengatur penyelenggaraan keistimewaan Aceh. Pasal 1 meneyebutkan bahwa keistimewaan Aceh adalah kewenangan khusus untuk menyelenggarakan kehidupan beragama, adat, pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Pada tanggal 8 November 1999 diadakan Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SU MPR) di Banda Aceh. Sebagian masyarakat Aceh menuntut untuk referendum. Keputusan referendum tersebut diberikan batas waktu sampai 4 Desember 1999. Sampai batas waktu yang ditentukan, pemerintah tidak mampu memberikan jawaban yang pasti. Pada waktu itu diisukan akan terjadi perang besar-besaran di Aceh apabila pemerintah tidak bisa memberikan keputusan. Namun kalangan mahasiswa di Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) misalnya, dengan tegas menyatakan, tidak akan terjadi perang besar-besaran di Serambi Mekkah pasca 4 Desember 1999. Kuncinya, menurut mahasiswa tetap pada TNI, bagaimana kalangan pimpinan militer itu bisa menjaga sikap dan emosional para prajuritnya di tingkat bawah. Artinya jika TNI tidak memberi tekanan terhadap rakyat Aceh, rakyat pun tidak akan melakukan perlawanan. Begitu juga dengan GAM, konsep perjuangan dan perlawanan terhadap TNI adalah menghindarkan bentrokan senjata. GAM selalu berusaha menarik pertempuran ke lokasi yang jauh dari perkampungan penduduk. (Pane, Neta. S. Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka: Solusi, Harapan dan Impian. Grasindo, Jakarta, hal. 190)

            Terhadap tuntutan referendum Aceh, pemerintah pusat tidak merespon dan menyetujui tuntutan tersebut. Salah satu alasannya karena takut Aceh akan lepas seperti kasus Timor Timur. Padahal sejak 1998 hingga 1999 di Aceh berkembang dua tuntutan yaitu referendum dan merdeka. Sementara wacana otonomi khusus tenggelam oleh kedua isu tersebut. Pada pertengahan 1999-2000 hampir seluruh lorong-lorong gampong- gampong, jalan-jalan, atap rumah, ditulis oleh masyarakat Aceh dengan tulisan referendum dan atau preemandum. Puncak dari tuntutan referendum itu terlihat dari rekomendasi musyawarah Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) pada 13-14 September 1999 (Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) didirikan pada 14 sepetember 1999, keanggotaanya adalah para ulama seluruh Aceh. Ulama Dayah adalah ulama yang memimpim pesantren tradisionaldi Aceh) yang mengatakan bahwa penyelesaian Aceh hanya dapat dilakukan melalui referendum dengan dua opsi yaitu merdeka atau tetap bergabung dengan NKRI. Proses ini terjadi ketika pusat sedang sibuk menyiapkan pemilu 1999 dan semua perhatian tertuju kesana, akibatnya perkembangan konflik Aceh, sepertinya dibirakan berjalan dengan mekanismenya sendiri.

            Abdurrahman Wahid yang sebelumnya menjadi Presiden menyetujui referendum pada SU MPR bersama-sama dengan Amien Rais, ternyata setelah Abdurrahman Wahid menjabat Presiden dan Amien Rais sebagai ketua MPR, dukungan atas referendum Aceh tidak pernah diwujudkan. Janji referendum ini pernah ditagih oleh masyarakat Aceh, ketika Abdurrahman Wahid terpilih sebagai presiden (Mengenai hal ini dapat dilihat pada siaran Radia Nikoya di Banda Aceh yang menyatakan bahwa sebagian rakyat Aceh menagih janji referendum kepada Presiden Abdurrahman Wahid, sebagaimana dinyatakan oleh aktivis perempuan Aceh, bernama Evi Zaian dari Forum Organisasi Perempuan Aceh (FOPA) pada radioa Nikoya 106.15 FM yang didistribusikan pada 20 oktober 1999). Upaya untuk meretas perundingan dengan pihak GAM ditempuh. Ketika pada 15 Mei 2000 Presiden Abdurrahaman Wahid berunding dengan GAM dan menandatangani Jeda Kemanusiaan. Jeda kemanusiaan ini berlangsung sejak Juni-Agustus 2000, setelah berakhir masanya, program ini dievaluasi dan lanjutkan kembali pada Jeda Kemanusiaan II. Jeda yang semula diharapkan bida membantu menyelesaiakan persoalan Aceh, ternyata tidak efektif. Perwakilan kedua belah pihak yang ada dalam Tim tersebut hanya membicarakan kepentingan kedua belah pihak saja (tidak cukup jelas sejauh mana kepentingan masyarakat sipil menjadi komitmen keduanya) (Sinar Harapan, Upaya-Upaya Penyelesaian Konflik Aceh Pasca DOM, 14 Mei 2003). Jeda kemanusiaan ini dilanjutkan kearah moratotium. Namun, langkah ini pun tidak sanggup menghentikan kekerasan dan perang di Aceh.









































BAB III

PENUTUP 

3.1 kesimpulan
          Kesimpulan dari makalah ini adalah bahwa terjadi kesalahpahaman antara masyarakat aceh dan masyarakat jawa.memang benar adanya bahwa masyarakat aceh dalam konflik ini sangat dirugikan tetapi yang merugikan masyarakat aceh sendiri adalah oknum oknum pemerintah saja dan tidak sepatutnya masyarakat aceh benci terhadap semua orang2 jawa

3.2 saran

                   Jika tidak ingin konflik yang sudah damai ini tidak ingin terulang lagi sebaiknya pemerintah indonesia harus lebih memperhatikan masyarakat aceh jangan hanya diambil kekayaan alamnya saja tetapi bangun daerah daerah di aceh 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar