“konflik
etnis aceh dan jawa”

Penyusun :
Nama : raka muhammad ilham f
NPM : 15315606
Fakultas : Teknik Sipil dan Perencanaan
JURUSAN
TEKNIK SIPIL
UNIVERSITAS
GUNADARMA
2015
Kata pengantar
Dengan
menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, saya panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga sayadapat menyelesaikan makalahilmu
sosial dasar dengan judul konflik etnis aceh dan jawa.
Makalah ini telah saya susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu saya menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu,saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka saya menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar saya dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata saya berharap semoga makalah ini sapat bermanfaat untuk masyarakat dan dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Makalah ini telah saya susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu saya menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu,saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka saya menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar saya dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata saya berharap semoga makalah ini sapat bermanfaat untuk masyarakat dan dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Tangerang
, 21 desember 2015
Penulis
DAFTAR
ISI
Kata
Pengantar ............................................................................................... i
Daftar
isi...........................................................................................................
ii
Bab
1 PENDAHULUAN
Latar
Belakang Masalah......................................................................... 1
Rumusan
masalah...................... ............................................................
2
Tujuan
Penulisan.......................... ......................................................... 2
Bab
2 PEMBAHASAN
2.1 Kesalahpahaman antara masyarakat aceh
dengan jawa ...........................................................................................................
3
2.2
latar belakang konflik menjadi besar..................................................................................................
4
2.3 upaya pemerintah melakukan damai
............................................................................................................
5
Bab
3 PENUTUP
4.1
Kesimpulan..................................................................................11
4.2
Saran............................................................................................
12
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Setelah Soeharto berkuasa ternyata ia membuat
kebijakan yang sangat sentralistik. Daerah istimewa yang dijnjikan dulu tidak
pernah ditepati dan bahakan dilupakan. Kekecewaan rakyat Aceh terhadap orang
jawa diperkuat oleh penemuan sumber cadanagan minyak dan gas alam terbesar pada
tahun 1971 di Lhokseumawe. Empat tahun kemudian Mobil Oil Indonesia perusahaan
raksasa yang bermarkas di Amerika serikat diberikan hak untuk
mengeksploitasinya. Sehingga kemudian disusul oleh beridirinya
perusahaan-perusahaan industri besar seperti PT. PIM, PT AAF, PT KKA dan
sejumlah industri hilir lainnya. Meskipun Aceh telah ditetapkan sebagai kawasan
ZIL (zona industri Lhoseumawe) namun keuntungan tidak pernah dirasakan oleh
rakyat Aceh. Aceh tetap miskin dan masyarakatya tetap hidup dalam kemelaratan.
Seluruh keuntungan mengalir ke pusat. Ekspansi besar-besaran tenaga kerja asing
terjadi. Sebagian besar birokrat serta posisi-posisi penting didalam
pemerintahan di Aceh dikuasai dan didominasi oleh orang Jawa maka semakin
menumbuhkan kebencian orang-orang Aceh terhadap orang jawa.
1.2
Rumusan
masalah
Berdasarkan masalah yang sudah
dipaparkan diatas, maka dapat ditentukan beberapa rumusan masalah, antara lain
adalah:
Apa yang
membuat aceh diabaikan oleh pemerintah?
Mengapa konflik
ini menjadi konflik yang panjang?
Bagaimana tindakan
pemerintah pada saat terjadi konflik di aceh?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan makalah ini diantaranya:
Menjelaskan kesalahpahaman antara etnis aceh dengan etnis jawa (pemerintah)
Menjelaskan kenapa konflik ini menjadi konflik yang besar
Menjelaskan upaya pemerintah dalam mengatasi konflik
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kesalahpahaman
antara masyarakat aceh dengan jawa
pemerintah penguasa
Orde baru sedang giat-giatnya merealisasikan program pembangunan serta
penyebaran Transmigrasi terutama yang berasal dari pulau jawa yang kemudian
ditempatkan didaerah-daerah. Tak sedikit Transmigaran yang berasal dari pulau
jawa membangun pemukiman-pemukiman baru di Aceh. Hal ini semakin menambah
kemarahan orang Aceh terhadap Jawa dan tak jarang selama kurun waktu tahun
80-90-an para Transmigran menjadi sasaran amarah masyarakat Aceh terutama
sekali GAM. Para transmigran banyak yang mendapat perlakuan tidak manusiawai
mulai dari penganiayaan, penculikan terhadap etnis Jawa pembakaran rumah hingga
kehilangan nyawa. Hal ini yang kemudian membuat orang-orang Jawa transmigran
merasa terancam hidupnya dan bahkan kebanyakan dari mereka memilih keluar dari
Aceh.
Ketika itu orang Aceh
sanagat membenci orang Jawa. Bagi orang Aceh, jawa adalah bangsa pengkhianat,
meskipun sebenarnya yang patut dibenci adalah oknum pemerintah Indonesia, yang
dominan di tempati oleh orang-orang yang ber etnis Jawa, namun para transmigran
pula tak luput dari teror serta ancaman dan intimidasi. Karena orang Aceh
beranggapan, semua orang jawa adalah penipu, sehingga orang-orang Aceh terutama
GAM, telah mempersepsikan atau memaknai negatif secara umum terhadap etnis Jawa.
2.2 latar
belakang konflik menjadi besar
penemuan sumber cadanagan minyak dan gas alam terbesar pada
tahun 1971 di Lhokseumawe. Empat tahun kemudian Mobil Oil Indonesia perusahaan
raksasa yang bermarkas di Amerika serikat diberikan hak untuk
mengeksploitasinya. Sehingga kemudian disusul oleh beridirinya
perusahaan-perusahaan industri besar seperti PT. PIM, PT AAF, PT KKA dan
sejumlah industri hilir lainnya. Meskipun Aceh telah ditetapkan sebagai kawasan
ZIL (zona industri Lhoseumawe) namun keuntungan tidak pernah dirasakan oleh
rakyat Aceh. Aceh tetap miskin dan masyarakatya tetap hidup dalam kemelaratan.
Seluruh keuntungan mengalir ke pusat. Ekspansi besar-besaran tenaga kerja asing
terjadi. Sebagian besar birokrat serta posisi-posisi penting didalam
pemerintahan di Aceh dikuasai dan didominasi oleh orang Jawa maka semakin
menumbuhkan kebencian orang-orang Aceh terhadap orang jawa
2.3 upaya pemerintah melakukan damai
Meskipun status DOM
telah dicabut pada akhir Juli 1998 dan secara resmi diumumkan pencabutan DOM
pada tanggal 7 Agustus 1998 oleh Jenderal Wiranto sebagai Menhankam/Panglima TM
di depan sejumlah ulama di kota Lhokseumawe Aceh Utara, namun kondisi Aceh semakin
hari semakin bertambah sulit. Pasukan Penindak Rusuh Massa (PPRM) yang dikirim
pemerintah pusat pasca DOM telah ditarik kesatuannya masing-masing serta
diadakannya penandatanganan kesepakatan Jeda Kemanusiaan di Jenewa tanggal 12
Mei sampai 15 Januari 2001 dan sejumlah solusi-solusi lain yang sedang diproses
bahkan telah dilakukan juga belum memberi perubahan yang signifikan pada suhu
konflik di Aceh.
Pasukan Penindak Rusuh
Massa , Operasi Wibawa, Operasi Meunasah, dibawah komando Polri yang tidak disertai
dengan tujuan yang pasti dan langkah-langkah yang konkret, menyebabkan dampak
serius bagi masyarakat Aceh. Cara ini bukan mendekatkan rakyat kepada
Indonesia, tetapi semakin menjauhkan mereka. Pada periode 1998-1999 PPRM
dibawah komando kepolisian daerah POLDA digelar untuk menggantikan
operasi-operasi keamanan sebelumnya. Setelah itu, Operasi Wibawa, Operasi Cinta
Meunasah digelar oleh kepolisian, namun lagi-lagi hasilnya tidak dapat
menuntaskan pemberontakan di Aceh.
Masyarakat
Aceh yang sebagian besar pada waktu itu menghendaki adanya referendum bagi Aceh
seperti yang diberikan oleh Presiden B.J. Habibie dalam menyelesaikan kasus
Timor Timur. Namun tuntutan ini tidak memperoleh tanggapan dari pemerintah.
Ketika Presiden B.J. Habibie mengunjungi Aceh pada 26 Maret 1999, beliau
membuat sembilan janji kepada rakyat Aceh. Atas kekerasan yang terjadi di Aceh,
Presiden B.J. Habibie meminta maaf kepada seluruh rakyat Aceh. Ia juga
memerintahkan agar aparat keamanan tidak melakukan tindak kekerasan dan
pertumpahan darah. Selanjutnya Presiden di Masjid Baiturrahman Aceh memberikan
janji kepada rakyat Aceh dengan perincian sebagai berikut : (Ahmad Farhan
Hamid,Jalan Damai Nanggroe Endatu Catatan Seorang Wakil Rakyat Aceh,
Suara Bebas, Jakarta, 2006 hal 21-22)
1. Melanjutkan
program pembebasan narapidana yang terlibat aksi politik 1989-1998.
2. Meminta
pemerintah daerah Aceh untuk membongkar kuburan massal korban DOM dan
menguburkan kembali sesuai syariat Islam dengan segala biaya di tanggung
pemerintah.
3. Memberikan
bantuan kesejahteraan dalam bentuk beasiswa bagi anak yatim, penyaluran kredit
usaha, modal kerja atau bantuan lainnya kepada para janda, korban perkosaan,
cacat dan bentuk rehabilitas ekonomi maupun rehabilitas sosial lainnya.
4. Merehabilitas
dan membangun kembali bangunan-banguan desa-desa bekas wilayah operasi
keamanan, termasuk rehabilitas mental spritual bagi semua ekses operasi
keamanan.
5. Meningkatkan
mutu pendidikan di Aceh, antara lain dengan meningkatkan status 85 madrasah
swasta menjadi negeri, memberikan fasilitas yang memadai, mendirikan madrasah
aliyah unggulan, memberikan lahan untuk praktik dan usaha Unsyiah, IAIN dan
Pesantren.
6. Menghidupkan
kembali jaringan kereta api di Aceh.
7. Mengembangkan
Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Sabang.
8. Memperpanjang
landasan pacu Bandara Iskandar Muda.
9. Mengangkat
2.188 anak-anak korban DOM menjadi Pengawai Negeri Sipil tanpa testing.
Wacana
untuk pemberian syariat islam dan khususnya Aceh juga digagas pada masa era pemerintahan
B.J. Habibie. Gagasan ini dituangkan pada Undang-Undang N0 44 Tahun 1999 yang
mengatur penyelenggaraan keistimewaan Aceh. Pasal 1 meneyebutkan bahwa
keistimewaan Aceh adalah kewenangan khusus untuk menyelenggarakan kehidupan
beragama, adat, pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.
Pada tanggal 8 November 1999 diadakan Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum
(SU MPR) di Banda Aceh. Sebagian masyarakat Aceh menuntut untuk referendum.
Keputusan referendum tersebut diberikan batas waktu sampai 4 Desember 1999.
Sampai batas waktu yang ditentukan, pemerintah tidak mampu memberikan jawaban
yang pasti. Pada waktu itu diisukan akan terjadi perang besar-besaran di Aceh
apabila pemerintah tidak bisa memberikan keputusan. Namun kalangan mahasiswa di
Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) misalnya, dengan tegas menyatakan,
tidak akan terjadi perang besar-besaran di Serambi Mekkah pasca 4 Desember
1999. Kuncinya, menurut mahasiswa tetap pada TNI, bagaimana kalangan pimpinan
militer itu bisa menjaga sikap dan emosional para prajuritnya di tingkat bawah.
Artinya jika TNI tidak memberi tekanan terhadap rakyat Aceh, rakyat pun tidak
akan melakukan perlawanan. Begitu juga dengan GAM, konsep perjuangan dan
perlawanan terhadap TNI adalah menghindarkan bentrokan senjata. GAM selalu
berusaha menarik pertempuran ke lokasi yang jauh dari perkampungan penduduk.
(Pane, Neta. S. Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka: Solusi,
Harapan dan Impian. Grasindo, Jakarta, hal. 190)
Terhadap
tuntutan referendum Aceh, pemerintah pusat tidak merespon dan menyetujui
tuntutan tersebut. Salah satu alasannya karena takut Aceh akan lepas seperti
kasus Timor Timur. Padahal sejak 1998 hingga 1999 di Aceh berkembang dua
tuntutan yaitu referendum dan merdeka. Sementara wacana otonomi khusus
tenggelam oleh kedua isu tersebut. Pada pertengahan 1999-2000 hampir seluruh
lorong-lorong gampong- gampong, jalan-jalan, atap rumah, ditulis oleh
masyarakat Aceh dengan tulisan referendum dan atau preemandum. Puncak dari
tuntutan referendum itu terlihat dari rekomendasi musyawarah Himpunan Ulama
Dayah Aceh (HUDA) pada 13-14 September 1999 (Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA)
didirikan pada 14 sepetember 1999, keanggotaanya adalah para ulama seluruh
Aceh. Ulama Dayah adalah ulama yang memimpim pesantren tradisionaldi Aceh) yang
mengatakan bahwa penyelesaian Aceh hanya dapat dilakukan melalui referendum
dengan dua opsi yaitu merdeka atau tetap bergabung dengan NKRI. Proses ini
terjadi ketika pusat sedang sibuk menyiapkan pemilu 1999 dan semua perhatian
tertuju kesana, akibatnya perkembangan konflik Aceh, sepertinya dibirakan
berjalan dengan mekanismenya sendiri.
Abdurrahman
Wahid yang sebelumnya menjadi Presiden menyetujui referendum pada SU MPR
bersama-sama dengan Amien Rais, ternyata setelah Abdurrahman Wahid menjabat
Presiden dan Amien Rais sebagai ketua MPR, dukungan atas referendum Aceh tidak
pernah diwujudkan. Janji referendum ini pernah ditagih oleh masyarakat Aceh,
ketika Abdurrahman Wahid terpilih sebagai presiden (Mengenai hal ini dapat
dilihat pada siaran Radia Nikoya di Banda Aceh yang menyatakan bahwa sebagian
rakyat Aceh menagih janji referendum kepada Presiden Abdurrahman Wahid,
sebagaimana dinyatakan oleh aktivis perempuan Aceh, bernama Evi Zaian dari
Forum Organisasi Perempuan Aceh (FOPA) pada radioa Nikoya 106.15 FM yang
didistribusikan pada 20 oktober 1999). Upaya untuk meretas perundingan
dengan pihak GAM ditempuh. Ketika pada 15 Mei 2000 Presiden Abdurrahaman Wahid
berunding dengan GAM dan menandatangani Jeda Kemanusiaan. Jeda kemanusiaan ini
berlangsung sejak Juni-Agustus 2000, setelah berakhir masanya, program ini
dievaluasi dan lanjutkan kembali pada Jeda Kemanusiaan II. Jeda
yang semula diharapkan bida membantu menyelesaiakan persoalan Aceh, ternyata
tidak efektif. Perwakilan kedua belah pihak yang ada dalam Tim tersebut hanya
membicarakan kepentingan kedua belah pihak saja (tidak cukup jelas sejauh mana
kepentingan masyarakat sipil menjadi komitmen keduanya) (Sinar Harapan, Upaya-Upaya
Penyelesaian Konflik Aceh Pasca DOM, 14 Mei 2003). Jeda kemanusiaan ini
dilanjutkan kearah moratotium. Namun, langkah ini pun tidak sanggup
menghentikan kekerasan dan perang di Aceh.
BAB III
PENUTUP
3.1 kesimpulan
Kesimpulan
dari makalah ini adalah bahwa terjadi kesalahpahaman antara masyarakat aceh dan
masyarakat jawa.memang benar adanya bahwa masyarakat aceh dalam konflik ini
sangat dirugikan tetapi yang merugikan masyarakat aceh sendiri adalah oknum
oknum pemerintah saja dan tidak sepatutnya masyarakat aceh benci terhadap semua
orang2 jawa
3.2
saran
Jika tidak ingin konflik yang
sudah damai ini tidak ingin terulang lagi sebaiknya pemerintah indonesia harus
lebih memperhatikan masyarakat aceh jangan hanya diambil kekayaan alamnya saja
tetapi bangun daerah daerah di aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar